Infopenerbangan,– Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh regulator maupun operator serta pihak terkait lainnya untuk membangkitkan kembali bisnis dan industri penerbangan yang masih mengalami masa-masa sulit pasca terdampak pandemi COVID-19 beberapa waktu lalu.
Isu terkini adalah rencana merger Citilink anak usaha PT Garuda Indonesia dengan Pelita Air yang merupakan anak usaha PT Pertamina. Direncanakan merger akan rampung pada akhir tahun 2023 ini.
Alasan dibalik rencana merger kedua perusahaan maskapai milik BUMN tersebut adalah untuk efisiensi industri penerbangan dan guna menekan biaya logistik, serta untuk memperkuat industri penerbangan Indonesia.
Terkesan baik dan masuk akal, namun sepertinya tidak mudah untuk diimplementasikan. Seperti diketahui, sebagai entitas bisnis, masing-masng perusahaan tentu memiliki izin perusahaan sendiri dan juga memiliki pangsa pasar, rute dan slot tersendiri.
Kalau dilebur tentunya akan menjadi bias. Nantinya pangsa pasar mana yang akan dipakai dan juga terkait izin rute tentu ada yang berkurang atau harus memperbaharui ijinnya kembali.
Belum lagi terkait aset yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan, dimana tidak mudah dalam hal pengakuan dan pengelolaan aset-asetnya.
Mengacu pada tujuan merger untuk efisiensi, berarti akan berdampak juga pada SDM dimana akan terjadi pengurangan atau bisa juga penambahan SDM. Belum lagi adanya perbedaan pola dan budaya di masing-masing perusahaan.
Pelita sejak awal merupakan maskapai penerbangan berbasis charter, sedangkan Citilink dan Garuda adalah maskapai penerbangan reguler. Berdasarkan pengalaman, terkait biaya crew untuk charter umumnya bersifat paket, sedangkan di penerbangan reguler bersifat variable per jam terbang.
Belum lagi hal-hal yang lainnya yang cukup rumit untuk dilakukan. Pada dasarnya, merger bisa dilakukan tapi tidak mudah untuk dilaksanakan mengingat implikasinya yang panjang.
Mungkin kita tidak bisa menolak lupa ketika pada 1978, Merpati Airline resmi menjadi anak perusahaan Garuda Indonesia. Namun dalam perjalanannya apa yang direncanakan tidak sesuai harapan. Alih alih saling bersinergi malah saling bersaing dan akhirnya Merpati stop operasi pada 2014 dan resmi dinyatakan pailit pada 2022.
Contoh kedua adalah kerjasama Garuda dengan Sriwijaya Air yang dimulai pada 2018 yang juga berujung kandas pada 2019.
Melihat fakta-fakta diatas, sepertinya opsi terbaik adalah merealisasikan keanggotaan Garuda Indonesia, Citilink dan Pelita sebagai bagian dari entitas penerbangan mandiri yang bergabung kedalam wadah holding aviasi dan pariwisata dibawah PT Aviasi Pariwisata Indonesia atau InJourney.
Saat ini yang sudah menjadi anggota antara lain, dari entitas Bandar udara adalah PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II.
Sedangkan di sektor pariwisata antara lain, PT Hotel Indonesia Natour, PT Pengembangan Pariwisata Indonesia, PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, & Ratu Boko, dan PT Sarinah.
Idealnya sektor aviasi juga segera bergabung, apalagi peran sektor aviasi sangat dominan, dimana wisman yang datang ke Indonesia 70 persen menggunakan moda angkutan udara.
Diharapkan seluruh entitas sektor penerbangan dan pariwisata bisa berintegrasi dan berkolaborasi dalam satu wadah strategi untuk memajukan sektor pariwisata sebagai core economy Indonesia. (*)
Editor :
Galih Rudyto , Praktisi dan Pemerhati Penerbangan
Trend Aviation