Rumit karena selain investasinya besar, belum ada arsitek kebandarudaraan yang berpengalaman.
Ini bukan hanya menyangkut soal estetika, melainkan juga standar/aturan penerbangan dunia, keamanan, ekonomi, flowmanusia, hubungannya dengan logistik dan kargo, PMK, lalu juga tenologi. Anda tahu kan belakangan ini serangan terorisme di bandara Eropa semakin gencar?
Itu sebabnya teknik pengamanan, standar internasional dan teknologinya terus ditingkatkan. Selain berarti biaya, ketrampilan baru pun perlu dilatih. Dalam soal ini orang bandara pasti lebih tahu dari mereka yang dibesarkan di bidang angkutan lainnya.
Tentu saja ada pihak yang sulit bekerjasama bahkan cenderung mempersulit ketimbang membantu, namun tak sedikit pula yang amat kooperatif.
Tetapi saya kira anda tak ingin diajak melihat ke belakang. Tak elok membicarakan kejengkelan, apalagi sesuatu yang sudah berlalu. Misalnya Anda jengkel karena menjelang hari raya kemarin keluarga jadi harus berdesak-desakkan di T1 atau T2. Kita lupakan sejenak.
Sebab masih banyak hal indah yang bisa kita saksikan ke depan. Kalaupun belum sempurna, kita masih punya waktu untuk memperbaikinya.
Karya Bangsa Sendiri
Mungkin ini pantas untuk dijadikan hadiah ulang tahun kemerdekaan kita yang ke-71. Karena selain memakai modal sendiri, ia dibangun 100 persen oleh putra-putri bangsa. Padahal dari ujung ke ujung panjangnya mencapai 2,4 kilometer.
Kalau Anda harus bolak balik mengejar pesawat di ujung lainnya, mungkin Anda bisa kurus dan kalau waktunya mepet, bisa ketinggalan pesawat.
Itu sebabnya, begitu dioperasikan, anda akan lihat kebisingan lain. Itu adalah pembangunan jalur peoplemover, semacam skytrain yang kelak akan menghubungkan T3, dengan terminal satu dan dua, serta stasiun kereta api.
Semua itu, kalau tak ada halangan, akan rampung bukan Maret tahun depan. Ya kelak Anda tak usah lagi repot-repot membawa mobil. Cukup naik kereta api dari Manggarai atau jalan Sudirman.
Namun pada tahap pertama besok, Anda baru bisa menikmati 40 persen dari keseluruhan areal bandara ini. Selebihnya, baru akan dioperasikan kemudian.
Tapi saya ingin katakan, ini momentum yang baik untuk mengangkat kembali rasa percaya diri bangsa karena selain tak kalah megah dengan terminal-terminal bagus milik negara tetangga lainnya di sekitar kita, ia dikerjakan bangsa sendiri.
Mungkin Anda masih ingat, T1 dan T2 dulu dibangun dan didesain oleh Perancis. Dan banyak lagi bandara besar kita yang dulu dibangun dengan uang pinjaman dari asing dengan desain, pekerja-pekerja konstruksi dan insinyur Asing.
Maka wajar kalau ada satu dua “antek-antek” mereka yang kecewa. Campaign mereka sesekali masih kita baca di sosial media, sambil menggunakan satu dua anak muda kita yang mudah didekati.
Padahal kalau orang asing yang mengerjakan, biayanya amat mahal dan banyak juga kekurangannya. Dan harap maklum, hampir setiap kali para CEO bandarudara itu datang, mereka mengatakan, hari ini hampir mustahil mengerjakan pembangunan bandara sendiri. Mereka amat terbiasa dibantu ahli dari manca negara.
Wakil presiden Jusuf Kalla masih ingat betul saat kami temui minggu lalu. “Karena yang bangun orang Eropa, dulu tangganya pun tangga orang Eropa. Tinggi-tinggi,” ujarnya. Setelah itu, jelas butuh perombakan, biaya lagi.
Selain itu, mereka bisa salah memahami budaya kita. Seorang teman yang terlibat dalam periode pembangunan menceritakan bagaimana bangunan berupa joglo itu dicat merah pada bagian dalamnya.
Lantas atas perintah Presiden Soeharto, iapun diminta menyiapkan pilihan-pilihan warna dan presiden memilih warna coklat. Maka biaya lagi.
Tetapi waktu berjalan, kita terbiasa melihat bandara luar negri yang lampunya terang benderang. Warna coklat pada dinding belakangan diketahui turut menyumbang suasana muram di dekat pintu keberangkatan dan kedatangan. Padahal lampu-lampu interior baru yang lebih terang sudah dipasang, perubahannya tak banyak.
Akhirnya dipilih warna putih. Kini banyak yang merasa sinarnya lebih terang, dan banyak yang senang. Tetapi ada yang protes bahwa ini melanggar kaedah arsitektur. “Karena bangunannya pendopo, maka dindingnya harus coklat,” ujarnya.
Padahal, kalau Anda pergi ke kraton Jogja, temboknya ya putih dan hijau. Bukan coklat. Begitulah citarasa, selalu ada perbedaan pandangan.
Selain itu, banyak orang yang tak menduga, krisis moneter yang dialami bangsa ini pada tahun 1997-1998 ternyata menjadi momentum penting bagi lonjakan penumpang udara.
Jumlah penumpang kita yang terbang dari bandara soekarno Hatta melonjak dari sekitar 15 jutaan ke 60 jutaan.
Krisis memicu datangnya low cost carrier dengan business model yang amat berbeda dengan Garuda Indonesia sehingga selain menguntungkan, mereka juga menciptakan pasar baru bagi kelas menengah baru.
Namun harap maklum, masalah baru, termasuk pelayanan, space terminal dan keamanan bermunculan.
Karena kebutuhan infrastruktur kita seringkali distimulasi oleh asing, maka hanya asinglah yang berhasil mendulang opportunitydan membangun infrastruktur besar di negri ini. Kita menjadi terlena, timbul kebiasaan menunggu atau meminta bantuan asing datang dan seringkali juga merasa tidak mampu.
Demikianlah begitu lonjakan penumpang datang, sebagian besar kita hanya bisa meminta bantuan pada bandar-bandara militer ketimbang membangun sendiri bandara sipil. Uang hasil pertambangan migas kita menguap begitu saja bertahun-tahun.
Baru belakangan ini pemerintah serius membangun bandara dan pelabuhan dengan me-leverage keuangan perusahaannya sendiri dan melalui sinergi BUMN. Maka, jangan heran kalau banyak terminal udara kita yang dudah sumpek, padat dan jelas butuh perluasan.
Karya-Karya Seni
Hal kedua yang juga perlu kita banggakan adalah kemampuan bangsa kita dalam menghasilkan karya-karya seni. Bandara bukankah museum, tetapi kita perlu menyambut kedatangan para wisatawan, meski sedikit, dengan sejumlah karya seni yang dihasilkan putra-putri terbaik bangsa ini.
Maka begitu Anda memasuki area bandara, kini Anda disambut oleh tiga buah “penjor” karya seniman Awan Simatupang. Lalu begitu keluar dari T3, di sisi kanan Anda akan dilepas patung Garuda karya pematung terkemuka Infonesia, I Nyoman Nuarta yang tingginya 18 meter.
Di dalam terminal sendiri, sambil menikmati kopi nusantara, Anda bisa menikmati pajangan-pajangan seni lainnya karya seniman-seniman besar kita. Sebagian besar mereka namanya sudah sering kita dengar. Sebut saja Pintor Sirait, Prof Sardono W Kusumo, dan Nasirun.
Namun sebagian meski tidak awam bagi para kolektor, bagi sebagian kita, namanya mungkin jarang disebut di sini karena karya- karya mereka banyak dikoleksi dan dipamerkan di galeri-galeri internasional.
Misalnya Eko Nugroho, Angki Purbandono, Eddi Prabandono, kelompok perupa Tromarama, Nus Salomo, duo perupa pasangan Dyatmiko dan Ariestyowanti, Galam Zulkifli, Chris Darmawan, Enin Supriyanto, Anusapati, Asikin Hasan, Rifki Effendy, dan Ichwan Noor.
Seniman-seniman ini adalah kelahiran Indonesia dari berbagai daerah. Namun meski begitu mereka mempunyai cita rasa seni yang bisa kita nikmati. Saya berharap hadiah ulangtahun kemerdekaan ini bisa kita nikmati dan kita syukuri.
Kalau Anda tanya siapa otaknya di balik ini semua, maka jawabnya adalah sebuah team yang dipimpin oleh putra bangsa yang kini dipercaya presiden Joko Widodo sebagai Menteri Perhubungan RI, Budi Karya Sumadi.
Seperti dikutip dari artikel Rhenald Kasali kompas.com dan berbagai sumber lainnya.