InfoPenerbangan,- Mimpi untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, tentunya bisa terlaksana apabila seluruh aspek yang terkait dengan keberhasilan pembangunan Indonesia mampu menunjukkan kemajuan yang berarti dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya pada seluruh rakyat Indonesia.
Untuk merealisasikan visi tersebut, maka 4 pilar pembangunan harus terwujud, yaitu Pembangunan Manusia dan Penguasaaan Iptek; Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan; Pemerataan Pembangunan; serta Pemantapan Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Kepemerintahan.
Ditinjau dari salah satu aspek yaitu Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan, maka tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang stabil, sulit untuk melaksanakan pembangunan di bidang ekonomi.
Salah satu pemicu pertumbuhan ekonomi adalah sektor Pariwisata yang sejak 2003 digaungkan sebagai coreekonomi Indonesia, guna meningkatkan pendapatan devisa negara, menciptakan lapangan kerja, serta merangsang pertumbuhan industri pariwisata.
Aspek aksesibilitas dan tranferabilitas merupakan kunci perkembangan pariwisata khususnya ke daerah-daerah tujuan wisata di seluruh Indonesia.
Dengan tersedianya akses transportasi dan adanya kemudahan untuk bepergian dari satu tempat ke tempat tujuan yang lain, maka pariwisata daerah diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.
Sedangkan peran bisnis penerbangan, menjadi tulang punggung sektor pariwisata untuk mendatangkan turis mancanegara ke Indonesia. Wisman yang datang ke Indonesia 70 persen melalui jalur udara, sehingga mau nggak mau bisnis penerbangan memang harus berkembang.
Namun sayangnya, kondisi sektor penerbangan nasional sejak era 2000-an hingga saat ini seakan masih “penuh nestapa”.
Mungkin kita masih ingat beberapa nama besar maskapai penerbangan yang pernah eksis di Bumi Nusantara seperti, Batavia Air, Bouraq, Jatayu Air, Indonesian Airlines, Sempati Air, Adam Air, Merpati Airline, Linus, Star Air, Mandala, Sky Aviation, Zamrud, Prodexim, Kaltim Air, Megantara, Seulawah, Top Air, SMAC, Kalstar dan yang lainnya.
Secara total sekitar 28 maskapai penerbangan domestik telah mengalami jatuh bangun dan akhirnya gulung tikar dan kini hanya tinggal papan nama.
Setelah era ini berakhir, bisnis dan industri penerbangan berangsur-angsur mulai pulih kembali dan mencapai puncak pertumbuhannya pada 2018/2019.
Namun belum sempat menikmati kue manis pesatnya pertumbuhan tersebut, datang ujian lainnya, yaitu merebaknya pandemi COVID-19 di era 2020/2021.
Era COVID-19 juga kemudian secara perlahan mulai berlalu dan optimisme baru muncul dengan lahirnya para pemain baru seperti, Super Air Jet, Pelita Air (reguler), BBN airlines dan yang teranyar Surya Air.
Munculnya maskapai-maskapai penerbangan baru ini seakan pertanda mulai pulihnya kembali sektor aviasi nasional.
Optimisme ini didukung pula dengan argumen bahwa bisnis penerbangan masih menjanjikan, karena Indonesia sebagai negara kepulauan tentunya membutuhkan transportasi salah satunya transportasi angkutan udara yang dikenal lebih cepat dan efisien untuk mengangkut orang maupun barang ke seluruh tujuan di Indonesia.
Namun apakah ada jaminan jika bisnis penerbangan tidak akan mengalami “turbulensi lanjutan” seperti era sebelumnya? Jawabannya tidak ada yang bisa menjamin!
Hal ini tentunya menimbulkan tanda tanya besar, ada apa dengan bisnis penerbangan Indonesia?. Anggap, era COVID-19 kita kesampingkan sebagai pengecualian.
Namun instabilitas bisnis penerbangan seakan masih terus membayangi. Dapat dikatakan, seperti masih ada ganjalan atau ada something wrong yang perlu dibenahi di bisnis penerbangan nasional.
Faktanya memang iya. Secara umum, hal-hal yang perlu dibenahi di bisnis penerbangan adalah:
- Kondisi ekonomi biaya tinggi akibat terus meningkatnya harga avtur, pelemahan rupiah dan peningkatan inflasi.
Diharapkan adanya peran nyata pemerintah atau regulator untuk mendorong Pertamina menurunkan harga avtur (atau memberikan insentif), serta dukungan dari stakeholder penerbangan lainnya seperti AP I dan AP II, serta Airnav untuk menurunkan tarif jasa operasi penerbangan di darat dan navigasi, guna mengurangi beban berat yang masih disandang oleh maskapai penerbangan Indonesia.
Selain dukungan Pemerintah, dari sisi internal maskapai penerbangan juga diharapkan untuk melakukan efisiensi di berbagai aspek baik operasional maupun non operasional.
Di aspek operasional yang dampaknya lumayan adalah upaya fuel conservation secara konsisten, sehingga mampu menurunkan biaya avtur.
Di aspek non operasional dengan melakukan efisiensi proses kerja melalui penggunaan teknologi (AI) sehingga lebih cepat dari sisi waktu dan lebih hemat dari sisi biaya.
- Zonasi dan Kerjasama aliansi antaroperator penerbangan Domestik
Regulator diharapkan mengatur area operasi penerbangan melalui zonasi (jika memungkinkan), guna menghindari persaingan yang tidak sehat dan saling merugikan satu sama lain.
Artinya, sebuah operator penerbangan Hub diharapkan tidak harus memaksakan diri untuk melayani operasi penerbangan Sub Hub sendiri, bahkan hingga ke rute Spoke, sepanjang sudah ada operator penerbangan lain yang beroperasi.
Contoh nyata, ketika dominasi Kalstar di wilayah Kalimantan dan Sulawesi akhirnya tidak mampu membendung desakan dari operator lain yang juga masuk.
Demikian pula dengan Transnusa di awal-awal operasi penerbangannya di wilayah NTT, mengalami nasib yang sama ketika maskapai lainnya juga “latah” masuk ke wilayah tersebut.
Padahal idealnya cukup dilakukan kerjasama antaroperator dengan tujuan utama demi kepentingan para pengguna jasa penerbangan.
Bentuk kerjasama antaroperator bisa melalui kerjasama terbatas di bidang operasi dan penerbangan (Non-equity Strategic Alliance), dimana pengguna jasa bisa mencapai tujuan akhir perjalanan menggunakan satu atau lebih pesawat milik operator penerbangan yang berbeda.
- Membangun dari bawah dan Kebijakan yang pro Domestik
Upaya memaksimalkan rute penerbangan domestik hingga ke daerah pelosok, dimana disamping untuk mengembangkan perekonomian daerah, juga untuk meningkatkan mata rantai aliran trafik (baik penumpang maupun kargo) dari Hub, Sub Hub hingga ke rute Spoke dan sebaliknya.
Peluang pengembangan penerbangan feeder (spoke) masih terbuka lebar karena baru sekitar 60 persen rute yang sudah diterbangi (sekitar 400 rute). Melalui jargon “Membangun dari Bawah”, diharapkan perekonomian daerah akan meningkat dan dampaknya akan mampu mendongkrak ekonomi Indonesia secara nasional.
Sejalan dengan rencana implementasi ASEAN Open Sky, diharapkan juga hanya sebatas pada lingkup perjanjian bilateral (Open Sky Bilateral Agreement) atau AOS terbatas dan tidak persaingan bebas murni.
Hal ini mengingat kondisi penerbangan pasca terdampak pandemi masih memerlukan waktu untuk bisa merestrukturisasi diri dan kembali pulih.
Mayoritas maskapai penerbangan saat ini masih berjibaku dengan upaya untuk meningkatkan kapasitas, meningkatkan frekuensi penerbangan dan utilisasi pesawatnya untuk menurunkan unit of cost dan upaya efisiensi lainnya, sekaligus mampu memenuhi tuntutan para pengguna jasa penerbangan. (*)
Editor :
Galih Rudyto
Praktisi dan Pemerhati Penerbangan
Trend Aviation