InfoPenerbangan,- Insiden tragis yang melibatkan pesawat Boeing 737 MAX telah meninggalkan luka yang mendalam bagi keluarga korban.
Tidak hanya itu mereka juga harus berurusan dengan kehilangan yang tidak tergantikan, tetapi mereka juga harus menghadapi proses hukum yang rumit untuk mencari keadilan.
Apresiasi terhadap tuntutan ini disampaikan Anton Sahadi, selaku perwakilan keluarga dari dua korban bernama Ryan Aryandi dan Ravi Andrian.
“Sepatutnya dengan pengakuan-pengakuan tersebut, saya rasa CEO Boeing juga harus siap mengundurkan diri hari ini juga, bahwa itu adalah kelalaian sangat fatal,” ujar Anton Sahadi.
Terkait dengan tuntutan denda senilai US$24,8 miliar atau sekitar Rp406 triliun, Anton mengatakan dari sisi kemanusiaan “tidak bisa diukur (sebanding) dengan nyawa.”
“Tapi kalau soal nominal ya, tergantung kembali ke pribadi masing-masing kan, merasa cukup atau tidak,” tambahnya.
Bagaimanapun, tuntutan terhadap perusahaan Boeing dapat menjadi momentum langkah perbaikan transportasi udara ke depannya.
Hal ini dilakukan agar harapan kedepannya baik itu pabrik, maupun operator, harus lebih peduli terhadap keselamatan masyarakat dan terhadap keselamatan penumpang.
Dan tidak hanya berfokus kepada kepentingan bisnis saja tetapi juga harus mementingkan perihal kemanusiannya juga.
Keluarga korban dari dua kecelakaan yang melibatkan pesawat Boeing 737 Max telah mengajukan tuntutan, dan denda sebesar $24,8 miliar atau sekitar Rp 406 triliun atas “kejahatan korporasi paling mematikan dalam sejarah Amerika Serikat”.
Pengacara keluarga korban, Paul Cassell, mengatakan bahwa jumlah tersebut “adil dan jelas pantas”. Hal ini, kata dia, mengingat “kerugian yang sangat besar akibat kejahatan Boeing”.
Pada tahun-tahun terakhir, Boeing 737 MAX mengalami dua kecelakaan fatal yang menewaskan total lebih dari 300 orang.
Salah satu yang paling mencolok adalah kecelakaan Lion Air JT610 di Indonesia pada Oktober 2018 dan Ethiopian Airlines ET302 pada Maret 2019.
Kedua kecelakaan ini dipicu oleh masalah sistem pengendalian penerbangan yang dikenal sebagai MCAS (Maneuvering Characteristics Augmentation System), yang secara keliru merespons data sensor yang salah.
Bagi keluarga yang ditinggalkan, insiden ini tidak hanya menjadi kehilangan fisik tetapi juga kehilangan kepercayaan terhadap perusahaan penerbangan dan produsen pesawat.
Banyak dari mereka merasa bahwa Boeing telah gagal dalam memastikan keamanan pesawat mereka dan dalam memberikan informasi yang memadai kepada maskapai dan kru pesawat.
Sebagai respons terhadap tragedi ini, keluarga korban telah mengambil langkah hukum untuk menuntut Boeing.
Mereka menuduh perusahaan telah mengabaikan keselamatan penumpang demi keuntungan ekonomi, serta tidak mematuhi standar keselamatan penerbangan yang ketat
Tuntutan hukum ini bertujuan untuk menegakkan keadilan bagi para korban dan mendorong perusahaan penerbangan untuk lebih berhati-hati dalam mengembangkan dan menguji teknologi baru.
Pada akhirnya, harapan keluarga korban adalah agar proses hukum ini tidak hanya memberikan ganti rugi finansial, tetapi juga memaksa Boeing untuk melakukan perubahan yang substansial dalam praktik keselamatan mereka.
Mereka ingin memastikan bahwa tidak akan ada keluarga lain yang harus mengalami penderitaan yang sama akibat kegagalan sistem keselamatan yang seharusnya melindungi nyawa mereka.
Insiden Boeing 737 MAX telah mengguncang dunia penerbangan dan menyisakan luka mendalam bagi keluarga korban.
Dalam menghadapi tantangan ini, keluarga korban bersama advokat mereka tetap teguh dalam mengejar keadilan dan memastikan bahwa kehidupan yang hilang tidak akan pernah dilupakan.
Semoga proses hukum ini membawa perubahan yang positif dalam industri penerbangan global untuk mencegah terulangnya tragedi semacam ini di masa depan.(*)