Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan memperketat keamanan penerbangan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 127 Tahun 2015 Tentang Program Keamanan Penerbangan Nasional.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Suprasetyo dalam sambutannya pada Sosialisasi Perundang-Undangan di Bidang Penerbangan, Surabaya, Kamis mengatakan tujuan pengetatan keamanan untuk meningkatkan kualitas layanan jasa penerbangan di Indonesia.
“Kita ingin mewujudkan citra Indonesia bahwa aman sejak dari bandara karena selama ini sudah dilakukan tapi tidak firm (ketat),” katanya.
Suprasetyo menjelaskan pengamanan yang diperketat, salah satunya penumpang harus melepaskan seluruh benda-benda yang mengandung logam ketika akan melewati sinar x atau “x-ray” di bandara.
“Selama ini penumpang tidak melepas peralatan mengandung logam, namun ketika masuk x-ray dan alarm menyala, baru dilepas, sekarang seluruh benda-benda tersebut harus dilepaskan sebelum masuk x-ray,” katanya.
Menurut dia, prosedur tersebut untuk memperkecil celah lolosnya benda logam yang masuk serta mengurangi beban pengawasan dari petugas bandara yang seringkali lelah jika mengecek satu per satu.
Sebagaimana yang tercantum dalam peraturan tersebut Bab II Nomor 7, tindakan atau percobaan yang membahayakan keselamatan penerbangan dan angkutan udara, berupa membawa senjata, peralatan berbahaya atau bahan-bahan yang dapat digunakan untuk tindakan melawan hukum secara tidak sah.
“Karena pernah ditemukan pisau di dalam ikat pinggang, ini yang perlu menjadi perhatian masyarakat mengapa ikan pinggang saja harus dilepas,” katanya.
Selain pengetatan kepada penumpang, dia menambahkan, setiap petugas bandara harus diperiksa, termasuk benda yang dibawanya.
“Misalnya, tukang kebun atau teknisi yang memasuki airside (area lapangan udara) dicatat membawa arit atau obeng lima buah, pulangnya harus membawa lima buah juga karena kalau ditinggal, ada dugaan senjata tajam,” katanya.
Suprasetyo menargetkan PM Nomor 127 Tahun 2015 tersebut seluruhnya dilaksanakan di setiap bandara, baik yang dikelola oleh PT Angkasa Pura maupun Unit Pelaksana Teknis (UPT) pada 31 Desember 2015.
Dia mengatakan pengetatan kemanan tersebut mengikuti standar dan rekomendasi internasional yang dimuat di dalam Annex 17 dari Konvensi Chicago (1944) dan yang terkait keamanan penerbangan dalam Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) Annex lainnya.
Selain itu, sertifikasi operasi bandara yang sudah dimulai sejak 2002 harus mengikuti standar internasional, yakni ICAO, termasuk perlatan-peralatan yang ada di bandara.
“Tinggi pohon dan gedung di sekitar bandara juga diatur dan harus sesuai standar,” katanya.