Infopenerbangan – Pada 2019 lalu diperkirakan jumlah penumpang angkutan udara turun sekitar 14 persen dan angkutan kargo merosot sekitar 20 persen. Meski ada sedikit pengaruh dari menurunnya daya beli masyarakat, namun harus diakui bahwa pemicunya adalah tarif tiket penumpang dan biaya angkutan kargo yang cenderung meningkat. Bagi para pengguna angkutan udara, sah-sah saja mengatakan tiket sekarang mahal.
Namun jika kita telusur kebelakang, sejak menjamurnya maskapai penerbangan dan dimulainya era tarif murah (low cost) pada tahun 2000-an, pengguna jasa penerbangan saat itu memang dimanjakan dengan tarif murah, karena kondisi saat itu memang memungkinkan bagi maskapai untuk “sedikit banting harga” karena meningkatnya persaingan akibat banyak berdirinya maskapai baru.
Pasca krisis moneter tahun 1998, saat itu nilai tukar masih di kisaran Rp 8.000 per US Dollar, sehingga dampak dari beban operasi berbiaya USD, masih bisa di antisipasi oleh maskapai. Namun begitu kurs melemah secara perlahan menjadi hingga dikisaran Rp. 14.000 seperti saat ini, maka beban maskapai menjadi semakin berat mengingat porsi biaya dalam denominasi USD adalah sebesar 65 persen dari total biaya maskapai, membuat maskapai tekor, karena mayoritas pendapatan domestik diperoleh dalam mata uang rupiah.
Masalahnya, pengguna jasa penerbangan sudah terlanjur dimanja dengan tarif murah sejak tahun 2000-an saat dimulainya era low cost, sehingga begitu terjadi penyesuaian, pasar pun bergolak. Tiket pesawat dianggap terlalu mahal dan memberatkan masyarakat. Nasi sudah menjadi bubur!
Padahal sejatinya harga tiket hanya menyesuaikan dengan kondisi meningkatnya biaya operasional, namun tidak melanggar Tarif Batas Atas (TBA) sesuai ketentuan pemerintah. Pemicu ekonomi biaya tinggi maskapai adalah nilai tukar USD dan meningkatnya biaya avtur, bandara dan navigasi.
Sehingga solusinya adalah aspek pemicu biaya diatas harus diturunkan. Terkait nilai tukar rupiah itu adalah domainnya pemerintah, sedangkan untuk menekan biaya operasional lainnya adalah terciptanya sinergi dan saling support antarBUMN terkait seperti Pertamina, Angkasa Pura I, Angkasa Pura II, Airnav dan Ground Handling operator.
BUMN terkait tersebut diharapkan bisa bersinergi dengan maskapai penerbangan dalam rangka menurunkan biaya operasi penerbangan. Pasalnya kinerja BUMN-BUMN tersebut sepanjang 5 tahun terakhir “tak ada satupun yang tidak untung”, semua marginnya positif, sehingga nggak ada salahnya membantu maskapai penerbangan yang tengah dilanda turbulensi. (*)
Berita Terkait: SOLUSI TIKET MAHAL (2)