Infopenerbangan.com – Jakarta – Oleh : Prof. Dr. K. Martono, Guru Besar Hukum Udara Universitas Tarumanagara
Berbagai media memuat berita bahwa Menteri Perhubungan mengundang maskapai penerbangan asing beroperasi di dalam negeri sebagai solusi menurunkan harga tiket pesawat udara. Apabila benar Menteri Perhubungan mengizinkan penerbangan maskapai asing dalam negeri, tindakan ini bertentangan dengan hukum internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Konvensi Chicago 1944.
Pasal tersebut berbunyi :“Each Contracting State shall have the right to refuse permission to the aircraft of other contracting State to take on in its territory passengers, mail and cargo carried for remuneration or hire and destined for another point within its territory. Each contracting State undertakes not to enter into any arrangements which specifically grant any privilege on an exclusive basis to any other State or an airlines of any other State, and not to obtain any such exclusive privilege from any other State”. Pasal tersebut dikenal sebagai hak cabotage.
Dalam praktek tranportasi udara, dewasa ini tidak ada negara manapun yang mengizinkan perusahaan penerbangan asing beroperasi di dalam negerinya.
Asas Cabotage
Secara historis, cabotage berasal dari konsep hukum laut, yaitu pelayaran dari satu tanjung ke tanjung yang lain dalam satu pantai misalnya dari Tanjung Priok di Jakarta ke Tanjung Mas di Semarang. Dalam perkembangannya dari satu tanjung ke tanjung lain di pantai yang berbeda, misalnya dari Tanjung Priok di Jakarta ke Banjarmasin di Kalimantan.
Perkataan “Cabotage” dari bahasa Spanyol artinya perahu nelayan kecil yang digunakan untuk berlayar, maknanya pengangkutan penumpang dan/atau barang secara komersial dari satu tempat ke tempat yang lain dalam satu wilayah berdaulat. Konsep ini dalam tahun 1944 diadopsi oleh Konvensi Chicago 1944 yang maknanya pengangkutan penumpang dan/atau barang secara komersial dari satu tempat ke tempat yang lain dalam satu wilayah negara berdaulat.
Dahulu, angkutan udara dari Singapore ke London merupakan cabotage karena Singapore koloni jajahan Inggris. Dahulu, penerbangan dari Melburne di Australia ke London di Inggris termasuk katagori cabotage karena Australia koloni Inggris, juga dari Hong Kong ke London adalah cabotage karena Hong Kong merupakan koloni Inggris. Sampai saat ini tidak ada negara yang melapaskan asas cabotage.
Apabila diterapkan di Indonesia, sebagai ilustrasi pengangkutan penumpang dan/barang secara komersial dari Singapore – Jakarta – Denpasar ke Melbourne di Australia, maka ruas cabotage adalah pengangkutan penumpang dan/barang secara komersial Jakarta ke Denpasar, maka tidak akan diberikan kepada perusahaan penerbangan asing yang secara filosofis menjadi hak perusahaan nasional, ibaratnya memindahkan uang dari kantong kiri ke kantong kanan tidak akan menyuruh anak orang melainkan menyuruh anaknya sendiri.
Akhir-akhir ini negara-negara besar (super power) selalu menyerukan agar melepaskan asas cabotage supaya mereka dapat beroperasi dalam negeri negara lain, tetapi Amerika Serikat sendiri tidak mau melepas hak cabotage-nya, buktinya penerbangan dari London, Inggris ke Amerika Serikat tidak mungkin Amerika Serikat mengizinkan British Airways terbang dari London langsung ke Los Angeles, paling jauh dari London ke New York atau Washington, karena dari New York atau Washington ke Los Angeles masih 8 jam terbang dengan pesawat Boeing 747 yang merupakan cabotage Amerika Serikat.
Pada waktu menyusun UU No.15 Tahun 1992, kebetulan saya salah satu konseptornya, ada yang mengusulkan melepas asas cabotage dengan alasan apabila Indonesia tidak mau melapaskan asas cabotage Garuda tidak dapat terbang dari Roma di Italia ke Schippol di Belanda apabila terbentuk persekutuan negara Eropa, karena jika Uni Eropa terwujud, rute dari Roma ke Schippol merupakan cabotage negara uni Eropa. Pada waktu itu saya berfikir Tuhan menciptakan negara kecil Belanda yang posisinya sangat strategis sehingga transportasi merupakan pendapatan nasional karena Belanda tidak mungkin menyerahkan transportasi udaranya ke negara Uni Eropa. Pada saat itu saya berpendapat apabila Indonesia melepaskan asas cabotage, berarti perusahaan asing akan beroperasi di dalam negeri dan berakibat perusahaan nasional pasti tidak mampu bersaing dengan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
Aspek Hukum dan Keamanan Negara
Disamping masalah komersial adalah masalah hukum, misalnya pesawat udara yang didaftarkan di Thailand beropasi di Indonesia, maka hukum yang berlaku adalah hukum Thailand berlaku di Indonesia, karena itu sertifikat awak pesawat udara harus dikeluarkan oleh Thailand, demikian pula semua hukum yang berkenaan dengan pesawat akan berlaku hukum Thailand termasuk juga investigasinya.
Memang dalam hal-hal tertentu pesawat udara asing dapat dioperasikan dalam negeri misalnya penerbangan dari Jakarta ke Balikpapan tetapi bukan komersial, misalnya untuk menolong orang sakit (medical evacuation) atau penerbangan di Papua untuk kepentingan missionaris dll, atau pesawat udara yang sedang diurus pendaftarannya dll.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, rekomendasinya adalah sebaiknya perusaahaan penerbangan asing tidak diizinkan, karena bertentangan dengan Pasal 7 Konvensi Chicago 1944 sekaligus menghindari hukum asing berlaku di Indonesia yang akan merugikan perusahaan nasional dan tidak sejalan dengan Undang Undang penerbangan. (*)