InfoPenerbangan,- Maskapai flag carrier PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) belakangan mencuat. Keuangan BUMN penerbangan ini tengah dalam kondisi berdarah-darah karena lilitan utang menggunung dan terus merugi.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan tantangan yang harus dihadapi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk pada saat proses restrukturisasi. Salah satunya adalah beroperasi dengan jumlah pesawat yang terbatas.
Seperti yang dilansir dari laman kompas.com (8/6/2021), ia mengungkapkan saat ini Garuda Indonesia hanya beroperasi dengan 50 pesawat. Ini lantaran sejumlah armada maskapai pelat merah ini telah ditarik atau di grounded oleh perusahaan penyewa pesawat (lessor) akibat penundanaan pembayaran sewa. “Jadi lessor ini punya hak buat grounded pesawat yang tidak dibayar kewajiban leasing-nya. Saat ini sudah banyak pesawat yang di-grounded oleh lessor, sehingga saat ini Garuda beroperasi minimum dengan 50 pesawat.
Pria yang akrab disapa Tiko itu menjelaskan, kondisi keuangan Garuda Indonesia yang kritis membuat Kementerian BUMN mengambil tindakan drastis dengan melakukan restrukturisasi secara dalam. Sebab jika tidak, maskapai ini akan berhenti beroperasi karena arus kas (cash flow) yang sangat terbatas, bahkan minus setiap bulannya.
Berdasarkan data Kementerian BUMN, beban biaya Garuda Indonesia mencapai 150 juta dollar AS per bulan, namun pendapatan yang dimiliki hanya 50 juta dollar AS. Artinya perusahaan merugi 100 juta dollar AS atau sekitar 1,43 triliun (kurs Rp 14.300 per dollar AS) setiap bulannya.
Namun di sisi lain, dalam proses restrukturisasi yang cukup memakan waktu tersebut, Garuda Indonesia hanya bisa beroperasi dengan jumlah pesawat yang sedikit. Sehingga, kata Tiko, hal ini menjadi tantangan untuk maskapai bisa bertahan dan menghasilkan pendapatan dari operasional yang terbatas.
“Memang yang menjadi tantangan pada proses restrukturisasi nanti adalah bagiamana agar dengan punya minimum operasi (pesawat) yang bisa hasilkan reveneuw (pendapatan) yang memadai,” ungkapnya. Adapun sebelumnya Garuda Indonesia setidaknya memiliki 142 pesawat yang terdiri atas Boeing 777-300ER, Boeing 737-800NG, Airbus A330-200, Airbus A330-300, Airbus A330-900neo, CRJ1000 NextGen, dan ATR 72-600.
Tiko mengatakan, sejak tahun lalu pesawat jenis CRJ tak lagi beroperasi atau sudah grounded oleh pihak lessor. Saat ini sudah banyak pula pesawat jenis Boeing 737 yang tak lagi bisa digunakan oleh Garuda Indonesia karena persoalan pembayaran ke lessor.
“Jadi (makanya) banyak masyarakat ke Bali atau ke Yogyakarta itu pakainya pesawat white body 777 atau 330, karena memang itu yang tersedia. Karena banyak saat ini 737 yang posisinya juga sudah tidak bisa kami pakai,” jelas dia.
Menurut Tiko, persoalan mendasar dari permasalahan keuangan maskapai milik negara ini adalah terlalu banyak menyewa pesawat dengan harga yang mahal. Kondisi itu sudah berlangsung sejak lama sehingga sangat membebani kinerja perusahaan.
Persoalan penyewaan pesawat tersebut, lanjutnya, semakin diperparah ketika pandemi Covid-19. Lantaran pandemi yang sudah berlangsung lebih dari setahun membuat penerbangan penumpang anjlok, alhasil semakin membawa Garuda Indonesia ke kondisi krisis keuangan.
“Tentunya dengan kondisi Covid-19, pendapatan (Garuda Indonesia) menurun dan kondisi ini sudah berjalan setahun lebih. Oleh karena itu, memang selama ini yang dilakukan adalah penundaan pembayaran. Jadi sebenarnya, kalau kami mau jujur, dari dulu sudah banyak yang enggak di bayar kewajibannya,” ujar Tiko. (*)