Infopenerbangan – Pasca krisis moneter melanda negara Asia, termasuk Indonesia, maskapai penerbangan plat merah Garuda Indonesia tak henti-hentinya diterjang turbulensi.
Setelah Emirsyah Satar yang menjabat sejak tahun 2005 mengundurkan diri pada tahun 2014, dan Arif Wibowo menjadi Dirut Garuda Indonesia menggantikan Emirsyah Satar, turbulensi yang mengguncang maskapai penerbangan Garuda seakan tak kunjung reda.
Arif mewarisi PR dan beban keuangan yang cukup berat. Di awal kepemimpinannya, Garuda harus mengalami kerugian sebesar $368,91 juta atau setara Rp 4,37 trilyun.
Arif melakukan upaya ekstra melalui langkah efesiensi di semua sektor. Hasilnya cukup menggembirakan. Tahun 2015 Garuda berbalik untung sebesar $77,97 juta atau setara Rp 1,04 trilyun.
Kemudian berlanjut pada tahun 2016, Garuda masih membukukan keuntungan meski menurun yaitu sebesar $9,36 juta atau setara Rp 124,59 milyar.
Namun akibat semakin ketatnya persaingan dan adanya pelambatan ekonomi yang berdampak pada turunnya tingkat daya beli masyarakat, ditambah meningkatnya harga avtur sebesar 17 persen, Garuda kembali limbung.
Hingga Kuartal I-2017 Garuda merugi $99,08 atau setara Rp 1,31 trilyun. Capaian dua tahun sebelumnya (2015-2016) yang diraih Arif dengan susah payah sebesar $87,33 juta langsung musnah bahkan minus $11,74 juta.
Menteri BUMN saat itu Rini Soemarno akhirnya menunjuk Pahala N. Mansury mantan Direktur Keuangan Bank Mandiri sebagai Direktur Utama Garuda menggantikan Arif Wibowo pada 12 April 2017.
Di masa kepemimpinan Pahala Mansury praktis tidak ada gebrakan yang berarti. Pada tahun 2017, Garuda masih tetap merugi sebesar $213,38 juta atau setara Rp 2,85 trilyun.
Melihat kinerja Garuda yang tak kunjung membaik, dan harga saham juga tak kunjung naik hanya berada dikisaran Rp 220 per lembar, ditambah adanya desakan Serikat Bersama Garuda Indonesia yang terdiri atas Asosiasi Pilot Garuda (APG) dan Serikat Karyawan Garuda (Sekarga), akhirnya Meneg BUMN kembali merombak jajaran Direksi Garuda.
Pada 12 September 2018, Ari Askhara menggantikan Pahala Mansury sebagai Dirut Garuda. Pasca kepemimpinan Ari Askhara, saham Garuda terus meningkat tajam. Harga saham GIAA.JK pada Rabu (30/1/2019) melesat naik sebesar 35,6 persen dibanding bulan sebelumnya yang sebesar Rp 298. Ini merupakan rekor kenaikan tertinggi saham Garuda pasca IPO pada 26 Januari 2011 silam.
Berikut adalah data historis urutan peningkatan tertinggi yang mampu diraih di era kepemimpinan yang berbeda :
- Naik 35,6 persen pada akhir Januari 2019 (Ari Askhara)
- Naik 27,8 persen pada akhir Januari 2016 (Arif Wibowo)
- Naik 27,7 persen pada akhir Oktober 2014 (Emirsyah Satar)
- Naik 9,6 persen pada akhir Oktober 2017 (Pahala Mansury)
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Garuda Indonesia, Rabu (24/4/2019), Garuda sempat melaporkan meraih laba, namun menuai polemik dimana dua orang komisaris menyatakan disenting opinion terkait laporan kinerja keuangan Garuda tersebut.
Dalam paparan publik yang disampaikan Garuda dalam keterbukaan informasi BEI, kemudian dilakukan penyesuaian pencatatan dan Garuda dilaporkan merugi sebesar $175,02 juta atau setara Rp 2,43 trilyun. Namun ada satu anomali yang perlu dicatat bahwa, “Ari Effect” telah menjungkirbalikkan asumsi harga saham, dimana meski ada sentimen negatif yaitu kerugian Garuda, tapi harga saham tetap melesat.
Meski pasca re-statemen laporan keuangan Garuda pada Jumat (26/7/2019) harga saham sempat sedikit menurun dan tercatat hanya sebesar Rp 390, namun melalui berbagai inovasi dan langkah perbaikan yang dilakukan oleh manajemen, harga saham Garuda merangkak turun naik dan mampu berada di kisaran Rp 507 per lembar saham.
Berita Terkait: REKOR KENAIKAN TERTINGGI SAHAM GARUDA PASCA IPO
<< Halaman Berikutnya (2) : Mampu Raih Laba Meski Low Season >>